navigasi

Senin, 22 Juli 2019

Meniti Jalan ke Surga


Selangkah Memulai

Memulai itu sesuatu itu berat, tapi harus dimulai ..
Seperti beratnya orang yang bangun dari tidur lelapnya.
Seperti beratnya beranjak dari kursi malas yang bertengger di depan televisi.

Memulai sesuatu itu berat, tapi harus dimulai..
Seperti memulai untuk mendatangi Masjid kala adzan menngumandang di kala subuh.
Seperti memulai untuk tepat waktu memenuhi segala jadwal.

Hidup itu berbicara dengan memulai ..
Memulai menangis ketika dilahirkan, meski menangisnya kita saat itu bukan karena ingin menangis ..
Memulai mengeluarkan kata, meski hanya menirukan ..
Memulai berjalan, meski tertatih ..
Memulai bersekolah ketika saatnya bersekolah ..
Memulai bercita-cita ketika beranjak remaja ...
Dan mungkin, seperti saat ini, memulai hidup mandiri ketika menikah ..

Memulai itu berat. Mungkin lima kali berat beras tigapuluhan kilo yang dipanggul.
Namun, hidup ini,, sadar tidak sadar, berbicara perihal memulai.

Tidak ada yang enak dalam memulai.
Jika pun enak, tidak ada enak yang bertahan begitu lama saat memulai.

Memulai itu berat, tapi harus dimulai..
Menikah adalah suatu permulaan tanggungjawab.. Menikah adalah awalan kemandirian dalam berdiri .. Menikah adalah titik pertama kehidupan baru..

Tidak melulu kebahagian, pahit getir akan menghiasi hari-hari pernikahan. Jika meniatkannya untuk ibadah, pahit getir ini akan berubah menjadi nikmat.

Ikatan pernikahan adalah sebuah keberanian untuk memulai. Memulai sesuatu arungan samudra berombak besar namun membawa kita kepada pantai indah nan menawan..

Memulai itu berat, tapi harus dimulai ..
Menikah berbicara tentang keberanian memperbaiki diri karena kita menginginkan barokah dari Sang Maha Pemberi Cinta..
Keberanian memperbaiki diri untuk pasangan kita.
Berat, amat berat, apalagi harus istiqomah. Ibarat mobil, lajunya harus konstan.

Harapan kami, doa kami, semoga kami mendapat apa yg saudara-saudara kami sebut dalam doa2 mereka di dering telepon, bisikan hangat, hingga sekedar pesan singkat, "untuk keberanian kami memulai,, semoga Allah berikan sakinah ... mawadah .. warahmah ..."

Menjelang Cirebon, 24 Februari 2016 :")
(Karya Mas Mohammad Arie Prasetyo, Teman Meniti Jalan ke Surga)

Senin, 07 November 2016

Hijrahlah walaupun bersusah payah


Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisa : 100)



Minggu, 04 September 2016

Berdua


Berdua berjuang untuk saling menggenapi
Berdua bersama  membangun pondasi rumah tangga
Berdua berikhtiar menggapai Cita, Cinta dan Syurga

Bismillah, menikmati saat-saat melengkapi puzzle kehidupan

Selasa, 26 April 2016

Kisah Cinta Teromantis

Bismillahirahmanirrahim


Kisah teromantis adalah kisah dimana kita mendapatkan cerita dengan tokoh yang saling mencintai, menyayangi dan mengasihi. Namun menurut saya ketiga hal tersebut tidaklah cukup bila di katakan sebagai sesuatu yang romantis. Romantis akan hadir ketika kita dapat menumbuhkan rasa cinta yang telah ada, merajut rasa sayang yang telah hadir, dan membangun rasa kasih yang telah muncul. tumbuhkanlah, rajutlah dan bangunlah rasa-rasa yang akan menumbuhkan kisah romantis ini.

Kisah cinta Rasulullah dengan Khadijah binti Khuwailid,  kisah cinta Abul ‘Ash dengan Zainab Putri Rasulullah dan kisah Ali Bin Abu Thalib dengan Fatimah Azahra Putri Rasulullah adalah beberapa kisah yang patut untuk dijadikan teladan bagi kita.

(1) Kisah cinta Rasulullah dengan Khadijah binti Khuwailid

Kisah mereka akan menjadi teladan cerita romantis islami terbaik sepanjang masa. Dari sekian banyak kisah tentang Rasulullah dan khadijah yang sering kita dengar, ada satu kisah yang menurut saya menarik. Ternyata sebelum rasul menikah dengan Khadijah, beliau telah memendam perasaan juga terhadap Khadijah kala itu. Alkhisah ketika sahabat Khadijah yang bernama Nafisah binti Muniah menanyakan kesediaan nabi untuk menikahi Khadijah, maka beliau menjawab. “Bagaimana caranya?”

Caran Rasulullah bertanya menggambarkan seolah-olah ia telah menunggu masa itu sejak lama. Kehidupan rumah tangga Rasulullah dan Khadijah berjalan dengan penuh keromantisan juga perjuangan yang sangat berarti. Hingga tiba masa dimana Rasulullah harus merelakan ajal menjemput istri kesayangannya yakni Khadijah Radhiallahu anha.

Setahun setelah Khadijah wafat, ada seorang sahabiah datang menemui Rasulullah. Wanita ini kemudian bertanya. “Ya, Rasulullah. Mengapa engkau tidak menikah? Engkau memiliki 9 keluarga dan harus menjalankan seruan besar.” Sambil menangis Rasulullah menjawab. “Masih adakah orang lain setelah setelah Khadijah?” Jika bukan karena perintah langsung dari Allah,  mungkin saja Rasulullah tidak akan pernah menikah lagi untuk selama-lamanya karena ketulusannya mencintai Khadijah Radhiallahu anha.


(2) Kisah cinta Abul ‘Ash dengan Zainab Putri Rasulullah

Zainab binti Muhammad radhiallahu ‘anha merupakan putri tertua Nabi. Ia buah pernikahan Nabi dengan Bunda Khadijah radhiallahu ‘anha. Zainab kecil sudah dilatih Khadijah untuk mengasuh Fathimah Az Zahra radhiallahu ‘anha. Zainab merupakan mutiara bagi suaminya, Abul Ash ibn Rabi’. Sosoknya merupakan cermin seorang istri yang begitu setia dalam berkhidmat bagi suaminya.

Ketika Zainab menyampaikan bahwa ayahnya mendapat wahyu kenabian, Abul Ash mengingkarinya. Abul Ash mengakui bahwa Muhammad, ayah mertuanya, merupakan orang yang tidak pantas diingkari, tetapi alasan nenek moyangnya lebih ia utamakan untuk menolak risalah kenabian.

Pada perang Badar, Abul Ash ikut berperang di barisan kaum musyrikin memerangi ayah mertuanya sendiri. Bayangkan betapa galau hati Zainab saat itu. Ia harap-harap cemas keselamatan ayahnya. Pada saat yang sama, ia juga gundah dengan nyawa sang suami yang memerangi ayahnya. Akhirnya datanglah kabar 70 orang musyrikin tertawan, Abul Ash salah satunya.

Dan siapa yang menebus Abul Ash? yang menebus adalah Zainab sang istri. Demikianlah bakti Zainab pada suaminya. Dari Makkah, Zainab mengirim sejumlah harta tebusan dan sebuah kalung dari batu Onyx Zafar. Ini kalung yang tak biasa. Kalung itu merupakan hadiah pernikahan dari sang ibunda, Khadijah. Ketika Nabi melihat kalung itu, ingatannya melayang ke cinta sejatinya, Khadijah. Nabi berseru pada kaum muslimin, jika mereka setuju Nabi meminta Abul Ash dibebaskan dan kalung itu dikembalikan ke Zainab.

Kembalinya Abul Ash dalam dekapan Zainab ternyata juga membawa kabar dari Nabi bahwa iman telah memisahkan mereka. Iman telah menjadi batas hubungan suami istri itu. Zainab diminta berhijrah ke Madinah oleh Nabi. Kala itu Zainab sedang mengandung buah cinta dengan Abul Ash dan kelak ia keguguran ketika jatuh dari untanya. Keduanya, Zainab dan Abul Ash, berpisah dengan gerimis air mata. Demikianlah bakti Zainab pada agamanya.

Beberapa waktu sebelum Fathul Makkah, Abul Ash memimpin kafilah dagang dari Syam. Lagi-lagi, seluruh hartanya disita kaum muslimin. Ketika malam merayap, Abul Ash diam-diam menemui Zainab di Madinah dan meminta Zainab untuk memberi perlindungan. Zainab menyanggupi. Zainab berseru di balik dinding ketika Rasul dan kaum muslimin berdiri shalat Subuh. “Wahai kaum muslimin, Abul Ash berada dalam perlindungan Zainab”.

Abul Ash dan hartanya selamat. Inilah titik balik itu. Sepulang ke Makkah dan menunaikan amanat orang-orang Quraisy, Abul Ash berseru dan berikrar syahadat. Abul Ash menyusul belahan jiwanya, Zainab, ke Madinah. Setelah 6 tahun berpisah karena iman yang beda, Abul Ash dan Zainab kembali bersatu cintanya. Cinta Zainab akhirnya tergenapkan. Kerinduannya akan iman di dada suaminya terpenuhi.

Tetapo, kebahagian itu tak berlangsung lama. di tahun kedelapan Hijriyah setelah pernikahan mereka, Zaenab berpulang ke pangkuan Allah. Sungguh hal ini menjadi pukulan yang berat bagi Abul Ash dan juga nabi. Berhari-hari Abul Ash dirundung duka mendalam. ia menjadi sulit makan. Hingga tak lama setelah itu Abul Ash juga menyusul Zaenab berpulang ke pangkuan Allah.

Cinta Sejati mereka dijalani dengan lika-liku yang begitu menggetarkan siapa saja yang membaca. Kisah cinta sejati sesungguhnya. Mudah-mudahan mereka dipertemukan di Syurga

(3) Kisah cinta Ali Bin Abu Thalib dengan Fatimah Azahra Putri Rasulullah

Dua pasangan ini mengajarkan kita tentang menjaga perasaan dengan cara yang baik. Mengutamakan ketaatan kepada Allah diatas segalanya, termasuk perasaan terhadap sesema manusia yang kian berkecamuk dalam dadanya. Namun sayang, fenomenanya saat ini. Sudah jarang sekali muda-mudi yang memiliki rasa malu seperti Fatimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib. Sudah terlalu sering kita menyaksikan mereka yang dengan mudahnya mengumbar kemesraan jelas.

Mari kita kembalikan kisah romantisnya pada masa Fatimah dan Ali. Ketika itu Ali hanya seorang pemuda biasa yang hanya memiliki harta baju besi yang sedang ia gadaikan. Ia mencintai Fatimah, namun dirinya merasa tidak pantas jika harus mendatangi Rasulullah untuk menikahi Fatimah tanpa kemapanan harta yang cukup. Dalam ikhtiarnya memantaskan diri untuk Fatimah, selalu saja ada cerita yang ia dengar dan hampir mematahkan semangatnya.

Seperti ketika ia mendengar cerita Abu Bakar dengan kesalihan dan kemapanan yang dimilikinya mendatangi Rasulullah bermaksud untuk menjadikan Fatimah sebagai Istrinya. Mendengar itu Ali kecewa namun dia lebih mendahulukan kebahagiaan Fatimah dibandingkan dirinya, ia berusaha menata hati untuk mengikhlaskan. Karena dia yakin Fatimah akan lebih bahagia dengan Abu Bakar jika dibandingkan dengan dirinya yang tidak punya apa-apa. Namun kemudian Rasulullah tidak menerima lamaran Abu Bakar, dengan alasan Fatimah masih terlalu muda. Begitupan dengan Umar dan Utsman, kedua sahabat Ali yang juga tidak kalah salih dan kaya itu pun ditolak oleh Rasulullah. Betapa kejadian itu kian menimbulkan keresahannya timbul tenggelam.

Suatu hari datanglah Ali menemui Rasulullah dengan segala kekurangan dan kelebihannya.Ia  memberanikan diri menghadap rasulullah dan menyampaikan maksud hatinya untuk meminta Fatimah menjadi istrinya, singkat cerita, Rasulullah menerimanya. Lalu keromantisan Fatimah dan Ali berlanjut terus hingga mereka menjadi pasangan suami dan istri. 

Berikut tadi 3 kisah teromantis menurut saya, semoga bisa dijadikan teladan bagi kita mengenai romantisme yang syarat akan makna :")

Cintah, Kasih dan Sayang. Bukanlah sesuatu yang di cari, di nanti atau diharapkan. Namun di usahakan dan ditumbuhkan. Seperti saat kita berusaha membangun Cinta kepada Sang Khalik dengan berusaha beranjank dari tidur di sepertiga malam, beranjak dari kesibukan di saat waktu Dhuha tiba dan saat-saat dimana beranjak menahan lelah demi menyelam bersama Al Quran. Indahnya rasa Cinta itu ketika kita bisa dengan khusyu dalam beribadah. Cinta kepada Allah SWT, Rasul dan sahabatnya serta cinta kepada makhluk ciptaan Nya.

Waallahu A'lam bishowab

Senin, 25 April 2016

Meniti Jalan ke Surga


Selangkah Memulai

Memulai itu sesuatu itu berat, tapi harus dimulai ..
Seperti beratnya orang yang bangun dari tidur lelapnya.
Seperti beratnya beranjak dari kursi malas yang bertengger di depan televisi.

Memulai sesuatu itu berat, tapi harus dimulai..
Seperti memulai untuk mendatangi Masjid kala adzan menngumandang di kala subuh.
Seperti memulai untuk tepat waktu memenuhi segala jadwal.

Hidup itu berbicara dengan memulai ..
Memulai menangis ketika dilahirkan, meski menangisnya kita saat itu bukan karena ingin menangis ..
Memulai mengeluarkan kata, meski hanya menirukan ..
Memulai berjalan, meski tertatih ..
Memulai bersekolah ketika saatnya bersekolah ..
Memulai bercita-cita ketika beranjak remaja ...
Dan mungkin, seperti saat ini, memulai hidup mandiri ketika menikah ..

Memulai itu berat. Mungkin lima kali berat beras tigapuluhan kilo yang dipanggul.
Namun, hidup ini,, sadar tidak sadar, berbicara perihal memulai.

Tidak ada yang enak dalam memulai.
Jika pun enak, tidak ada enak yang bertahan begitu lama saat memulai.

Memulai itu berat, tapi harus dimulai..
Menikah adalah suatu permulaan tanggungjawab.. Menikah adalah awalan kemandirian dalam berdiri .. Menikah adalah titik pertama kehidupan baru..

Tidak melulu kebahagian, pahit getir akan menghiasi hari-hari pernikahan. Jika meniatkannya untuk ibadah, pahit getir ini akan berubah menjadi nikmat.

Ikatan pernikahan adalah sebuah keberanian untuk memulai. Memulai sesuatu arungan samudra berombak besar namun membawa kita kepada pantai indah nan menawan..

Memulai itu berat, tapi harus dimulai ..
Menikah berbicara tentang keberanian memperbaiki diri karena kita menginginkan barokah dari Sang Maha Pemberi Cinta..
Keberanian memperbaiki diri untuk pasangan kita.
Berat, amat berat, apalagi harus istiqomah. Ibarat mobil, lajunya harus konstan.

Harapan kami, doa kami, semoga kami mendapat apa yg saudara-saudara kami sebut dalam doa2 mereka di dering telepon, bisikan hangat, hingga sekedar pesan singkat, "untuk keberanian kami memulai,, semoga Allah berikan sakinah ... mawadah .. warahmah ..."

Menjelang Cirebon, 24 Februari 2016 :")
(Karya Mas Mohammad Arie Prasetyo, Teman Meniti Jalan ke Surga)

Senin, 30 November 2015

Setegar Salman Al Farisi

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.

”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”

♥♥♥

Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah.”Cinta yang berbingkai keimanan, tak akan pernah meminggirkan rasa cinta pada Allah dan RasulNya.

Judul Asli: Menjaga, Menata, lalu Bercahaya | Ditulis Oleh Ust. Salim A. Fillah

Rabu, 04 November 2015

Makna Pertemuan




Sahabat.. Pernahkah berfikir kenapa kita dipertemukan?

Allah mempertemukan kita untuk satu alasan. Entah untuk memberi atau menerima. Entah untuk belajar atau mengajarkan. Entah untuk bercerita atau mendengarkan. Entah untuk sesaat atau selamanya. Entah akan menjadi bagian terpenting atau hanya sekedarnya. Semua tidak ada yang sia-sia, karena Allah yang mempertemukan.

Hidup kita saling bertaut, bersinggungan. Bisa jadi kehadiran kita adalah jawaban atas do'a-do'a sahabat kita, sebagaimana mereka pun adalah jawaban atas do'a-do'a kita. Jika sudah menjadi takdir Allah, meski dengan jarak beribu-ribu kilometer kita tetap akan dipertemukan, dalam satu ikatan bernama ~UKHUWAH~

Disini, selalu membuatku ingin tetap tinggal, didalam hati dan do'a-do'a sahabat. Sampai detik ini kita hebat. Detik berikutnya, semoga makin hebat

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Apabila penghuni syurga telah masuk ke dalam syurga, lalu mereka tidak menemui sahabat-sahabat mereka yang selalu bersama mereka dahulu sewaktu di dunia. Mereka pun bertanya kepada Allah tentang sahabat mereka, "Ya Rabb, kami tidak melihat sahabat-sahabat kami yang sewaktu di dunia shalat bersama kami, puasa bersama kami dan berjuang bersama kami." Lalu Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : "Pergilah kamu ke neraka, lalu keluarkanlah sahabat-sahabatmu yang di hatinya ada iman walaupun hanya sebesar zarah." (HR. Ibnul Mubarok)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat orang-orang yang bukan Nabi, dan bukan pula Syuhada. Tetapi para nabi dan syuhada cemburu pada mereka di hari kiamat nanti, disebabkan kedudukan yang diberikan Allah kepada mereka. "Ya Rasulullah, beritahukanlah kepada kami, siapa mereka?" Ujar sahabat, "Agar kami bisa turut mencintai mereka." Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Demi Allah, wajah-wajah mereka pada hari itu bersinar bagaikan cahaya di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak takut di saat manusia takut, dan mereka tidak sedih di saat manusia sedih.” (HR. Abu Dawud)
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membacakan ayat Al-Qur'an : "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati". (QS. Yunus : 62)
Dalam Hadits lain disebutkan :
Di sekitar Arsy Allah ada menara-menara dari cahaya, didalamnya terdapat orang-orang yang pakaiannya dari cahaya, wajah-wajah mereka bercahaya, mereka bukan Nabi atau pun Syuhada. Para Nabi dan syuhada iri kepada mereka. Ketika ditanya para sahabat, “Siapakah mereka itu ya Rasulullah?” Lalu Rasulullah menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling berkunjung karena Allah.”
(HR. Tirmidzi)
Semoga kita adalah golongan orang-orang yang dicemburui oleh para Nabi dan Syuhada. Semoga ukhuwah kita yang terjalin dilandasi oleh kasih sayang dan saling mencintai karena Allah, Aamiin Allahumma Aamiin.

dikutip dari tulisan sahabat seiman